News

LOGISTIKOS : Revolusi Logistik Jangan Setengah Hati

15 March 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Revolusi Industri 4.0 menjadi tema yang digaungkan hampir sepanjang 2018. Relevansinya pun terus bersambungan hingga tahun ini. Salah satu yang paling hangat adalah implementasi perubahan total di sektor logistik Indonesia.

Selama ini, sektor logistik di Indonesia selalu dikambinghitamkan atas penyebab mahalnya harga jual suatu produk hingga rendahnya daya saing Indonesia di mata internasional.

Permasalahannya selalu sama, yaitu ongkos logistik yang mahal, karena rantai pasok yang panjang dan tidak efisien serta waktu tempuhnya sangat lama.

Baru-baru ini, Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi Wihana Kirana Jaya menyebutkan bahwa saat ini rerata biaya logistik di Indonesia mencapai 25% dari produk domestik bruto (PDB), lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia.

Biaya logistik dua negara tersebut mencapai 13%—15% dari PDB. Makna rasio ini adalah semakin tinggi struktur biaya logistik terhadap porsi PDB menandakan biaya logistik di suatu negara makin tidak efisien. Artinya, logistik Indonesia masih kalah efisien.

Oleh karena itu, diperlukan upaya yang radikal dalam memperbaiki performa logistik Indonesia. Seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, pengusaha, asosiasi, maupun BUMN menyebut bahwa upaya radikal dalam Revolusi Industri 4.0 sektor logistik itu adalah proses digitalisasi.

Sektor logistik pun perlahan-lahan mulai mengembangkan penggunaan Internet of Things (IoT), big data, sensor dan segala hal berbau kekinian yang diperkenalkan dalam revolusi industri jenis baru ini.

Pemerintah lebih dahulu mengembangkan Indonesia Nation Single Window (INSW) yang digadang-gadang menjadi platform integrasi digital di sektor logistik dan urusan mata rantai pasok ini.

Sementara itu, para pelaku industri pun mulai mengembangkan digitalisasi di tubuhnya masing-masing. Demikian halnya dengan kalangan asosiasi.

Kita dapat menyebut, Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) menjadi lembaga pemerintah yang paling depan mengembangkan digitalisasi, sementara asosiasi tentu Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) yang paling maju urusan ini.

Namun, perlu diketahui membangun Revolusi Industri 4.0 bukanlah sekadar penggunaan teknologi atau digitalisasi, karena automasi merupakan bagian dari Revolusi Industri 3.0. Adapun, yang dibutuhkan dalam Revolusi Industri 4.0 adalah revolusi cara berpikir atau mindset.

Selama pola pikir belum berubah, Revolusi Industri 4.0 hanya akan menjadi tagline dan menggeser platform di luar jaringan menjadi di dalam jaringan Internet of Things (IoT).

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengakui menjadi cabang bisnis logistik yang sulit menerapkan digitalisasi.

Maklum, para pengemudinya bisa disebut gagap teknologi. Walhasil, upaya digitalisasi dengan platform yang dikembangkan belum membuahkan hasil positif. Ini yang terjadi ketika revolusi digital tidak dibarengi dengan perubahan pola pikir.

Demikian dengan perkara yang dihadapi oleh sektor logistik saat ini. Kesadaran melek teknologi sudah digembar-gemborkan oleh semua pemangku kepentingan, tetapi lagi-lagi isu klasik seperti ego sektoral dan keterbukaan mengemuka.

Belum lagi dengan tidak adanya standardisasi yang jelas di sektor logistik ini. Padahal, dalam konteks berteknologi, standardisasi data menjadi hal mendasar yang dibutuhkan, seperti standardisasi dokumen dan standard operational procedure (SOP).

Ketiadaan standar inilah yang membuat Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Ilham Masita menyebutnya sebagai masalah besar di sektor logistik. Lalu, kepada siapa tanggung jawab masalah besar ini dituntaskan?

Tak cukup bagi pemerintah hanya melakukan perannya sebagai mediator SOP yang bisa diterima oleh seluruh pelaku logistik. Semua pihak telah bergerak dengan arahnya masing-masing, padahal tujuannya sama, efisiensi baik biaya maupun waktu dari aktivitas logistik.

Alatnya pun sama, teknologi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan lagi dorongan untuk bergerak, perkenalan terhadap alat, melainkan sebuah semangat kolaborasi untuk pencapaian yang lebih besar.

Kecuali jika kita ingin menyaksikan revolusi digital di sektor logistik berjalan setengah hati.

Sumber : Bisnis Indonesia