News

Kala Ekonomi Diteror Bahaya Mati Suri Industri Manufaktur

08 August 2018

Jakarta, CNN Indonesia -- Senyum Presiden Joko Widodo kian mengembang mengetahui kondisi ekonomi kuartal kedua tahun ini yang tumbuh menembus angka 5,27 persen. Capaian ini bisa dianggap prestasi tertinggi selama pemerintahannya.

Namun, Jokowi tak begitu saja berbangga hati dan berpuas diri. Nyatanya, masih ada ancaman laten yang kian waktu kian menggerogoti kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ialah pertumbuhan industri manufaktur yang terus mengalami pelemahan kinerja. Pada kuartal II 2018, angka pertumbuhan industri nonmigas tetap tertahan di angka 4,41 persen. Relatif stagnan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang ada di kisaran 3-5 persen saja.

Tak hanya itu, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga kian berkurang.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, industri pengolahan ternyata menyumbang 19,83 persen dari pembentuk PDB pada kuartal II 2018. Bandingkan saja dari periode yang sama lima tahun lalu kontribusinya mencapai 23,77 persen. Padahal, pertumbuhan industri manufaktur yang tinggi menjadi kunci akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Melihat kontribusinya yang besar terhadap PDB, lompatan jauh industri manufaktur bisa memberikan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi. Makanya, akan menjadi bahaya jika saat ini Indonesia meneruskan tren deindustrialisasi.

Ekonom ADB Institute Eric Sugandi menjelaskan deindustrialisasi sudah merongrong Indonesia setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Ini bermula dari daya saing industri dalam negeri yang kian melemah tahun ke tahun.

Kala itu, produk Indonesia ditaklukkan oleh industri manufaktur asal China yang punya skala ekonomis (economies of scale) cukup besar. Akibatnya, banyak produsen Indonesia mengalihkan fokus menjadi distributor produk-produk asal negara Tirai Bambu.

"Indonesia kalah bersaing dengan produk-produk negara lain bukan hanya di pasar domestik, tetapi juga di pasar internasional," jelas dia.

Semakin rendah produktivitas industri dalam negeri, maka ketergantungan impor juga bisa semakin besar. Jika demikian, tentu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan bisa tertekan semakin dalam. Terlebih, belakangan pemerintah selalu mengeluhkan dua hal ini.

Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit defisit sebesar US$1,02 miliar dalam enam bulan pertama di tahun 2018. Selain itu, Bank Indonesia juga memprediksi defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun di angka US$25 miliar atau terjun 44,51 persen dibanding realisasi tahun lalu US$17,3 miliar.

Jika deindustrialisasi tidak diatasi, maka ada dua penyakit yang perlu diobati Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat dan jurang defisit transaksi berjalan yang makin dalam.

Sayangnya menurut Eric, tidak ada jalan pintas untuk menyelamatkan Indonesia dari deindustrialisasi. Ia bilang, langkah pemerintah sudah tepat dengan memberikan insentif fiskal berupa pengurangan dan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) (tax holiday) dan pengurangan penghasilan kena pajak (tax allowance).
Namun, kini insentifnya harus fokus ke sektor industri tertentu. Misalnya, insentif khusus bagi perusahaan yang menjalankan riset dan pengembangan.

"Untuk mengatasi ini memang tak ada solusi jangka pendek. Semua perlu waktu. Dan mungkin fokus dulu ke industri domestik untuk bisa bersaing di dalam negeri," kata Eric.

Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut salah satu pangkal masalah deindustrialisasi adalah kecanduan Indonesia atas ekspor komoditas karena dianggap lebih mudah dihasilkan. Apalagi setiap harga komoditas naik, industri manufaktur dalam negeri kian terpukul.

Padahal, ekspor komoditas sangat tergantung dengan harga pasar. Selain itu, karena tidak memiliki nilai tambah, maka nilai ekspor komoditas pun lebih kecil jika dibandingkan produk hilirnya.

Jika ini dibiarkan terus, maka penyerapan tenaga kerja menjadi terancam. Apalagi, saat ini industri manufaktur menyerap 14,1 persen dari total serapan tenaga kerja, maka efeknya bisa sangat signifikan jika deindustrialisasi sampai terjadi.

Bahkan menurutnya, serapan tenaga kerja dalam beberapa waktu belakangan sudah mulai terpapar efek deindustrialisasi. Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata tambahan penduduk bekerja di sektor industri hanya 489 ribu orang, padahal pada periode 2010 hingga 2012, ada tambahan pekerja sektor industri rata-rata sebesar 758 ribu orang per tahunnya.

"Jika begini, maka artinya pendapatan rata-rata masyarakat bisa turun dan sebabkan perlambatan konsumsi rumah tangga," jelas dia.

Jika tren ini dibiarkan berlanjut terus, maka Indonesia terancam masuk perangkap golongan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Ini pun, lanjut Bhima, akan menjadi buah simalakama bagi golongan usia produktif yang sekiranya akan mendominasi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Sudah kena middle income trap, Indonesia berpeluang tak bisa memanfaatkan bonus demografi.

Menurut Bank Dunia, sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara berpendapatan tinggi jika memiliki Gross National Income (GNI) per kapita di atas US$12.235. Indonesia sendiri saat ini memiliki GNI per kapita di angka US$3.540, dan masih masuk ke dalam kelas negara menengah bawah (lower-middle income countries). Artinya, jibaku Indonesia masih panjang menuju ke arah negara pendapatan tinggi.

"Masalah deindustrialisasi memang Indonesia dikejar waktu. Kalau 2030 sudah lewat, nanti bonus demografinya terbuang percuma," papar dia.

Untuk mengeluarkan Indonesia dari middle income trap, maka pertumbuhan industri harus di atas 7 persen dengan kontribusi terhadap PDB di angka 26 persen. Makanya, perbaikan produktivitas dan inovasi tak boleh dianggap bercanda. Apalagi, Global Competitiveness Index di tahun 2017 menunjukkan Indonesia ada di peringkat 87 dari 126 negara.

"Negara lain seperti China dan Vietnam sudah move ke industri 4.0, Indonesia jauh tertinggal. Kenapa? Karena negara hadir mendukung riset dan inovasi dibidang industri. Terakhir memang (di Indonesia) soal infrastruktur dan birokrasi yang menciptakan ekonomi berbiaya tinggi," paparnya.

Namun menurutnya, masih ada waktu bagi pemerintah untuk berbenah. Insentif yang diberikan pun harus lebih spesifik. Misalnya, jika industri tekstil butuh pembelian mesin baru, maka pemerintah bisa memberikan kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). Selain itu, jika industri pengolahan kelapa sawit butuh sertifikasi, maka itu harus digratiskan pemerintah.

Terakhir, tentu pemerintah harus fokus pada lima hingga 10 industri prioritas yang dijadikan unggulan. Jangan sampai, paket kebijakan berjilid-jilid tidak mampu mengeluarkan Indonesia dari jeratan deindustrialisasi.

"Jangan obral tax holiday sampai 50 tahun itu tidak efektif," terang Bhima.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180808160916-532-320581/kala-ekonomi-diteror-bahaya-mati-suri-industri-manufaktur